Tjoe
Yang Hwa, 46 tahun, sudah kembali beraktivitas seperti sediakala. Dua pekan
silam, general manager di sebuah perusahaan swasta ini mengurus bisnisnya di
Bali. Sambil berbisnis, Wawa, demikian ia biasa disapa, menyempatkan diri untuk
snorkeling di Pulau Dewata itu. Tak ada lagi keluhan di sekitar rahim,
sebagaimana sebelumnya kerap muncul. Di rahim Wawa bersarang tumor (mioma).
Gejalanya ia rasakan sejak pertengahan Desember 2013. Wawa sering mengalami
perdarahan dan mudah terkena penyakit. Lewat pemeriksaan di salah satu rumah
sakit di bilangan Serpong, Tangerang, Banten, ketahuan ada tumor sepanjang 9
sentimeter. Wawa menjalani pengobatan. Namun ia merasa kurang puas. Setelah
bertanya kepada beberapa rekannya, ia berpindah ke Rumah Sakit (RS) Bunda di
kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Di sini, Wawa menjalani sejumlah pemeriksaan,
seperti ultrasonografi, darah, jantung, dan penyakit lain. Hasil pemeriksaan
lebih mengagetkan Wawa: di rahimnya tumbuh tumor sebesar kepala bayi. ''Saya
seperti hamil lima bulan,'' ujarnya kepada M. Diaz Bonny S. dari Gatra. Dokter
menawarkan beberapa pilihan terapi. Yaitu laparoskopi, bedah caesar, dan bedah
robotik, lengkap dengan keunggulan masing-masing alternatif tadi. Tanpa ragu,
ibu satu anak itu memilih yang terakhir, meski diberitahu bahwa tarifnya
sekitar Rp 100 juta. Selain mampu secara finansial, ia pun ingin segera
beraktivitas serta membutuhkan operasi yang cepat dan waktu pemulihan yang
singkat. Operasi itu berlangsung sekitar tiga jam, sedangkan total pemulihannya
lima jam. Pukul tujuh malam, Wawa sudah sadar. ''Saya puas dan operasinya juga
sukses,'' katanya. Meski terbilang berbiaya besar, Wawa masih menganggapnya
lebih murah dibandingkan dengan terapi serupa di Singapura, yang ongkosnya Rp
140 juta. Ongkos ini pun belum termasuk biaya transportasi, penginapan, dan
lain-lain. Keuntungan lain, kata Wawa, tiga hari pasca-operasi yang tergolong
minimal invasive itu, ia sudah bisa berjalan. Lalu, sepekan berselang, ia mampu
melakukan berbagai kegiatan. Wawa adalah pasien kelima yang menjajal teknologi
bedah baru itu. Sejauh ini, telah ada 10 pasien yang menjalaninya. Di sejumlah
negara maju, teknologi itu sudah banyak digunakan. Di Amerika Serikat, sejak 1980-an
bedah model begini dilakukan. Satu dekade kemudian dikembangkan teknologi da
vinci robotic surgery. Kini peralatan itu dikembangkan lagi hingga bentuk mesin
robot lebih ramping dan bisa melihat kelainan dalam bentuk tiga dimensi. ''Alat
ini bukan gaya-gayaan, tapi memang memberikan sesuatu hal berbeda pada
pasien,'' kata Dokter Ivan Sini, Vice President RS Bunda. Teknologi ini
memanfaatkan robot sebagai alat operasi. Sedangkan dokter hanya menjadi
pengontrol lengan-lengan robot, yang panjangnya masing-masing 1,5 sentimeter.
Peralatan itu memiliki tiga hingga empat lengan, yang masing-masing harganya
sekitar Rp 20 juta. Meski begitu, mereka mampu melakukan berbagai pembedahan.
Menurut Ivan, beberapa penyakit yang bisa diatasi dengan terapi ini, antara Dari
empat lengan yang bekerja, salah satunya berfungsi sebagai lengan kamera.
Tujuannya, untuk memudahkan dokter pengontrol melihat objek operasi. Kamera ini
beresolusi di atas 1.200 megapiksel dengan kualitas high definition. Ia mampu
memperlihatkan jaringan dengan jarak dua milimeter. Lengan berkamera memiliki diameter 12 mm, sedangkan lengan lainnya
berdiameter 8 mm. Ada juga lengan yang memiliki dua jari yang sanggup berputar
seperti putaran tangan manusia. ''Jari-jari inilah nantinya yang memiliki kemampuan
untuk memegang, menjahit, dan menggunting,'' tutur Ivan. Ivan mengaku tidak
sulit mengoperasi peralatan tersebut, apalagi yang terbiasa mengerjakan operasi
besar. Ibarat bermain game PlayStation, lengan robot ikut bergerak sesuai
dengan perintah. Dokter yang hendak mengoperasikan alat ini harus melewati
pelatihan selama sebulan dan mendapatkan sertifikasi. Sekarang terbentuk tim
yang terdiri dari 5-10 dokter dari berbagai disiplin. Karena memiliki presisi yang tinggi, alat itu mampu,
misalnya, mengurangi risiko perdarahan. Inilah yang kemudian berhubungan dengan
kecepatan pulih bagi pasien. ''Biasanya dua hingga tiga hari pasca-operasi bisa
bekerja lagi,'' ujar Ivan. Lantas, bagaimana dengan risiko pasca-operasi? Ivan
menjelaskan, ketika berbicara risiko, operasi robotik ini sama dengan operasi
lain. Tetap ada risiko, tapi minimal sekali. Misalnya infeksi, cedera, dan
perdarahan. Maka, dokternya harus mahir. Tapi ia menjamin, infeksi itu akan
cepat hilang. Kendala
terbesar justru dalam biaya pemeliharaan. Untuk servis per tahun saja,
manajemen rumah sakit harus membayar sekitar Rp 1 milyar. Namun, Ivan yakin,
biaya yang dikeluarkan pasien akan sebanding dengan yang didapat. Apalagi,
biaya yang dikeluarkan pasien itu lebih murah ketimbang berobat ke luar negeri. Di
Singapura, misalnya, 40% pasien yang berobat berasal dari Indonesia. Bahkan
yang pertama menjalani operasi robotik adalah pasien penderita kanker usus dari
Indonesia. Di "negeri singa" itu, peralatan macam ini sudah tersedia
pada 2004, tapi baru digunakan pada 2007-2008. Menanggapi penggunaan teknologi robotik itu, Prof. Dr. dr. Biran
Affandi, SpOG, dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menjelaskan bahwa
peralatan macam itu umumnya digunakan pada bedah laparoskopi, tindakan bedah
minimal yang umumnya ditujukan untuk mengurangi risiko yang didapat pada
operasi besar. ''Jadi, gerakan-gerakannya sudah distandardisasi. Makanya,
menggunakan robot,'' kata Biran. Namun
penggunaan teknologi ini perlu mempertimbangkan beberapa aspek. Antara lain
keamanan, efektivitas, dan penerimaan masyarakat. "Biasanya tiga hal itu
berhubungan erat,'' katanya. Sementara itu, Dokter Frizar Irmansyah, kolega
Biran, mengatakan bahwa hadirnya robotic surgery itu positif karena semuanya
terstandardisasi. Ini juga merupakan kemajuan dalam teknologi kedokteran.
''Karena ada beberapa tindakan yang memang membutuhkan akurasi dan teknik
operasi tertentu yang sulit jika dikerjakan manusia,'' ujar Frizar kepada Fitri
Kumalasari dari Gatra lewat surat elektronik. Frizar juga menjelaskan, hadirnya robotic surgery di Indonesia itu perlu
mendapat pengawasan. ''Harus ada regulasi dan pengawasan dari kalangan profesi
serta lembaga konsumen kesehatan agar tidak terjadi penyelewengan dalam
penggunaannya,'' katanya.
http://roboticsurgeryindonesia.com
0 comments:
Post a Comment