Saturday, 22 November 2014

Penggunaan Robot dalam Dunia Medis di Indonesia

Posted by Bundamedik Healthcare System | 08:43 Categories: ,

Tjoe Yang Hwa, 46 tahun, sudah kembali beraktivitas seperti sediakala. Dua pekan silam, general manager di sebuah perusahaan swasta ini mengurus bisnisnya di Bali. Sambil berbisnis, Wawa, demikian ia biasa disapa, menyempatkan diri untuk snorkeling di Pulau Dewata itu. Tak ada lagi keluhan di sekitar rahim, sebagaimana sebelumnya kerap muncul. Di rahim Wawa bersarang tumor (mioma). Gejalanya ia rasakan sejak pertengahan Desember 2013. Wawa sering mengalami perdarahan dan mudah terkena penyakit. Lewat pemeriksaan di salah satu rumah sakit di bilangan Serpong, Tangerang, Banten, ketahuan ada tumor sepanjang 9 sentimeter. Wawa menjalani pengobatan. Namun ia merasa kurang puas. Setelah bertanya kepada beberapa rekannya, ia berpindah ke Rumah Sakit (RS) Bunda di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Di sini, Wawa menjalani sejumlah pemeriksaan, seperti ultrasonografi, darah, jantung, dan penyakit lain. Hasil pemeriksaan lebih mengagetkan Wawa: di rahimnya tumbuh tumor sebesar kepala bayi. ''Saya seperti hamil lima bulan,'' ujarnya kepada M. Diaz Bonny S. dari Gatra. Dokter menawarkan beberapa pilihan terapi. Yaitu laparoskopi, bedah caesar, dan bedah robotik, lengkap dengan keunggulan masing-masing alternatif tadi. Tanpa ragu, ibu satu anak itu memilih yang terakhir, meski diberitahu bahwa tarifnya sekitar Rp 100 juta. Selain mampu secara finansial, ia pun ingin segera beraktivitas serta membutuhkan operasi yang cepat dan waktu pemulihan yang singkat. Operasi itu berlangsung sekitar tiga jam, sedangkan total pemulihannya lima jam. Pukul tujuh malam, Wawa sudah sadar. ''Saya puas dan operasinya juga sukses,'' katanya. Meski terbilang berbiaya besar, Wawa masih menganggapnya lebih murah dibandingkan dengan terapi serupa di Singapura, yang ongkosnya Rp 140 juta. Ongkos ini pun belum termasuk biaya transportasi, penginapan, dan lain-lain. Keuntungan lain, kata Wawa, tiga hari pasca-operasi yang tergolong minimal invasive itu, ia sudah bisa berjalan. Lalu, sepekan berselang, ia mampu melakukan berbagai kegiatan. Wawa adalah pasien kelima yang menjajal teknologi bedah baru itu. Sejauh ini, telah ada 10 pasien yang menjalaninya. Di sejumlah negara maju, teknologi itu sudah banyak digunakan. Di Amerika Serikat, sejak 1980-an bedah model begini dilakukan. Satu dekade kemudian dikembangkan teknologi da vinci robotic surgery. Kini peralatan itu dikembangkan lagi hingga bentuk mesin robot lebih ramping dan bisa melihat kelainan dalam bentuk tiga dimensi. ''Alat ini bukan gaya-gayaan, tapi memang memberikan sesuatu hal berbeda pada pasien,'' kata Dokter Ivan Sini, Vice President RS Bunda. Teknologi ini memanfaatkan robot sebagai alat operasi. Sedangkan dokter hanya menjadi pengontrol lengan-lengan robot, yang panjangnya masing-masing 1,5 sentimeter. Peralatan itu memiliki tiga hingga empat lengan, yang masing-masing harganya sekitar Rp 20 juta. Meski begitu, mereka mampu melakukan berbagai pembedahan. Menurut Ivan, beberapa penyakit yang bisa diatasi dengan terapi ini, antara Dari empat lengan yang bekerja, salah satunya berfungsi sebagai lengan kamera. Tujuannya, untuk memudahkan dokter pengontrol melihat objek operasi. Kamera ini beresolusi di atas 1.200 megapiksel dengan kualitas high definition. Ia mampu memperlihatkan jaringan dengan jarak dua milimeter. Lengan berkamera memiliki diameter 12 mm, sedangkan lengan lainnya berdiameter 8 mm. Ada juga lengan yang memiliki dua jari yang sanggup berputar seperti putaran tangan manusia. ''Jari-jari inilah nantinya yang memiliki kemampuan untuk memegang, menjahit, dan menggunting,'' tutur Ivan. Ivan mengaku tidak sulit mengoperasi peralatan tersebut, apalagi yang terbiasa mengerjakan operasi besar. Ibarat bermain game PlayStation, lengan robot ikut bergerak sesuai dengan perintah. Dokter yang hendak mengoperasikan alat ini harus melewati pelatihan selama sebulan dan mendapatkan sertifikasi. Sekarang terbentuk tim yang terdiri dari 5-10 dokter dari berbagai disiplin. Karena memiliki presisi yang tinggi, alat itu mampu, misalnya, mengurangi risiko perdarahan. Inilah yang kemudian berhubungan dengan kecepatan pulih bagi pasien. ''Biasanya dua hingga tiga hari pasca-operasi bisa bekerja lagi,'' ujar Ivan. Lantas, bagaimana dengan risiko pasca-operasi? Ivan menjelaskan, ketika berbicara risiko, operasi robotik ini sama dengan operasi lain. Tetap ada risiko, tapi minimal sekali. Misalnya infeksi, cedera, dan perdarahan. Maka, dokternya harus mahir. Tapi ia menjamin, infeksi itu akan cepat hilang. Kendala terbesar justru dalam biaya pemeliharaan. Untuk servis per tahun saja, manajemen rumah sakit harus membayar sekitar Rp 1 milyar. Namun, Ivan yakin, biaya yang dikeluarkan pasien akan sebanding dengan yang didapat. Apalagi, biaya yang dikeluarkan pasien itu lebih murah ketimbang berobat ke luar negeri. Di Singapura, misalnya, 40% pasien yang berobat berasal dari Indonesia. Bahkan yang pertama menjalani operasi robotik adalah pasien penderita kanker usus dari Indonesia. Di "negeri singa" itu, peralatan macam ini sudah tersedia pada 2004, tapi baru digunakan pada 2007-2008. Menanggapi penggunaan teknologi robotik itu, Prof. Dr. dr. Biran Affandi, SpOG, dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menjelaskan bahwa peralatan macam itu umumnya digunakan pada bedah laparoskopi, tindakan bedah minimal yang umumnya ditujukan untuk mengurangi risiko yang didapat pada operasi besar. ''Jadi, gerakan-gerakannya sudah distandardisasi. Makanya, menggunakan robot,'' kata Biran. Namun penggunaan teknologi ini perlu mempertimbangkan beberapa aspek. Antara lain keamanan, efektivitas, dan penerimaan masyarakat. "Biasanya tiga hal itu berhubungan erat,'' katanya. Sementara itu, Dokter Frizar Irmansyah, kolega Biran, mengatakan bahwa hadirnya robotic surgery itu positif karena semuanya terstandardisasi. Ini juga merupakan kemajuan dalam teknologi kedokteran. ''Karena ada beberapa tindakan yang memang membutuhkan akurasi dan teknik operasi tertentu yang sulit jika dikerjakan manusia,'' ujar Frizar kepada Fitri Kumalasari dari Gatra lewat surat elektronik. Frizar juga menjelaskan, hadirnya robotic surgery di Indonesia itu perlu mendapat pengawasan. ''Harus ada regulasi dan pengawasan dari kalangan profesi serta lembaga konsumen kesehatan agar tidak terjadi penyelewengan dalam penggunaannya,'' katanya.





www.bunda.co.id
http://roboticsurgeryindonesia.com

0 comments:

Post a Comment

  • RSS
  • Facebook
  • Twitter
  • Youtube